SALAM DAN BAHAGIA
go to my homepage
Go to homepage

Kamis, 01 September 2011

Sejarah Bapak Pendidikan Indonesia


RADEN Masa Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, lahir pada 2 Mei 1889 di Jogjakarta. Ia berasal dari lingkungan keluarga keraton Jogjakarta. Usai menamatkan ELS atau Sekolah Dasar Belanda, ia meneruskan pelajarannya ke STOVIA atau Sekolah Dokter Bumiputera.
Tapi tidak sampai tamat karena ia sakit. Namun ia tak putus arang. Ia lalu menulis pada berbagai surat kabar seperti “Sedyotomo, Midden Java, De Express dan Utusan Hindia”. Ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik di Budi Oetama. Ia juga pernah mendirikan sebuah partai politik bernama “Indische Partij” bersama tiga temannya yakni Dr Danudirdja Setyabudhi (FFE Douwes Dekker), dr Cipto Mangunkusumo dan Abdul Muis. Karena ditolak oleh pemerintah Belanda, maka mereka bertiga membentuk “Komite Bumiputera,” sebuah organisasi tandingan dari komite yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda.
Dengan itu, RM Suwardi membuat sebuah tulisan yang berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda)” yang menyindir ketumpulan perasaan Belanda ketika menyuruh rakyat Indonesia untuk ikut merayakan pembebasan Belanda dari kekuasaan Perancis. Karena tulisan ini dianggap menghina pemerintah Belanda, maka Dr. Douwes Dekker pemilik koran “de Express” yang memuat tulisan tersebut. Mendapat hukuman pengasingan bersama dr Cipto Mangunkusumo dan teman-teman. Dari sinilah kemudian RM Suwardi banyak mendalami masalah pendidikan dan pengajaran di Belanda hingga mendapat sertifikasi di bidang ini.
Setelah pulang dari pengasingan, RM Suwardi bersama rekan-rekan seperjuangan mendirikan “Nationaal Onderwijs Instituut” atau Perguruan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922. Perguruan itu bercorak nasional dan berusaha menanamkan rasa kebangsaan dalam jiwa anak didik. Pernyataan asas dari Taman Siswa berisi 7 pasal yang memperlihatkan bagaimana pendidikan itu diberikan, yaitu untuk menyiapkan rasa kebebasan dan tanggung jawab, agar anak-anak berkembang merdeka dan menjadi serasi, terikat erat kepada milik budaya sendiri sehingga terhindar dari pengaruh yang tidak baik dan tekanan dalam hubungan kolonial, seperti rasa rendah diri, ketakutan, keseganan dan peniruan yang membuta.
Selain itu anak-anak dididik menjadi putra tanah air yang setia dan bersemangat, untuk menanamkan rasa pengabdian kepada bangsa dan negara. Dalam pendidikan ini nilai rohani lebih tinggi dari nilai jasmani. Pada tahun 1930 asas-asas ini dijadikan konsepsi aliran budaya, terutama berhubungan dengan polemik budaya dengan “Pujangga Baru”. Selain mencurahkan dalam dunia pendidikan secara nyata di Tamansiswa, RM Suwardi juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisan-tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan. Tulisannya yang berisi konsep-konsep pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan jumlahnya mencapai ratusan buah. Melalui konsep-konsep itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Pemerintah Belanda merintangi perjuangannya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi beliau dengan gigih memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu dapat dicabut. Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, Raden Mas Suwardi Suyaningrat berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara, dan semenjak saat itu beliau tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya beliau dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. (bm-4/Sekolah Online Indonesia)

0 komentar:

Posting Komentar